BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Aktivitas perekonomian ditandai dengan aktivitas perdagangan, industri, dan jasa di satu negara, tidak akan terlepas dari pola-pola transaksi bisnis yang dijalankan oleh para pelaku bisnis di dalamnya, Di dalam lingkungan bisnis, aspek kepercayaan dan kejujuran menjadi unsur penentu kegiatan bisnis dapat berjalan dengan lancar. Imbasnya, akan memberikan dampak positif bagi kegiatan perekonomian itu sendiri. Suatu lingkungan bisnis yang dalam praktek-prakteknya jauh dari adanya kehidupan usaha yang jujur dan dapat dipercaya, dengan sendirinya akan mematikan kegiatan bisnis itu sendiri.
Kejahatan dalam lingkup kegiatan bisnis pada saat ini telah berkembang dan kompleks yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pihak perusahaan sebagai suatu institusi, perorangan, birokrat, dan kalangan professional seperti akuntan public, fund manager, dan lain-lain. Beberapa kejadian penting yang ditengarai, dan menjadi sorotan banyak pihak sebagai adanya bentuk kejahatan bisnis pada sepuluh tahun terakhir ini, mengindikasikan perlunya pemerintah untuk mempersiapkan perangkat hukum yang memadai untuk mencegah praktek-praktek yang tidak jujur dalam kegiatan bisnis.
BAB II Landasan Teori
2.1 Pengertian kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah "conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law". Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini.
Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga, pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum. Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang engurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang inyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan.
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.
3. Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu social fun data untuk yayasan).
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
• UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
• UU No.38/2004 tentang Jalan
• UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• DLL.
Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan : Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.
BAB III Pembahasan
3.1 Contoh Kasus Kejahatan Korporasi (DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK PT NH)
Mahasiswa Jambi yang tergabung dalam Gerakan Bersama Rakyat Kampus berunjuk rasa mengadukan dugaan penggelapan pajak oleh PT NH kepada Kantor Pajak Pratama Jambi, di Jambi, Senin (20/5/2013). Perusahaan diduga tidak membayarkan pajak pertambahan nilai atas seluruh penjualan produk-produk yang dijualnya kepada konsumen selama tiga tahun terakhir hingga mencapai Rp 45 miliar.
Koordinator lapangan Rahmat Hidayat mengatakan, perusahaan merupakan distributor tunggal produk Unilever untuk sejumlah swalayan di wilayah Jambi. Saat ini penyidikan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak pusat. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jambi juga telah diminta melakukan penagihan pada perusahaan. "Setelah menjual produk-produk ini pada sejumlah swalayan, perusahaan tidak membayarkan pajak pertambahan nilai," ujarnya.
Terkait itu, pihaknya meminta Kepala Pelayanan Pajak Pratama Jambi secepatnya memberi penjelasan. Mahasiswa juga meminta aparat mengusut tuntas dan memeriksa catatan pajak perusahaan.
Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan Kantor Pajak Pratama Jambi, Eko Herman Susilo, yang menemui para mahasiswa mengatakan tidak dapat memberi penjelasan apa pun terkait keterbukaan data pajak perusahaan. Ini terkait aturan yang mewajibkan kantor pajak menjaga kerahasiaan perusahaan wajib pajak. "Kami tidak boleh membuka data wajib pajak kepada publik sebelum kasusnya masuk peradilan," ujarnya.
Menurut Eko, pihaknya juga belum mengetahui adanya perintah dari Dirjen Pajak untuk memeriksa kasus tersebut, apalagi untuk menagih nilai pajak kepada perusahaan terkait. "Kami malah belum tahu soal itu," tuturnya.
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak Pratama Jambi Agus Winarso mengatakan, perusahaan distribu
tor wajib membayar pajak atas pertambahan nilai setiap produk yang dijualnya kepada konsumen sebesar 10 persen. Perusahaan yang terbukti tidak membayar bakal dikenai nilai pajak atas produk yang dibelinya. "Nilainya tentu lebih besar. Wajib pajak sendiri yang akan merugi jadinya," kata Agus. (
KOMPAS.COM)
BAB IV Kesimpulan Dan Saran
4.1 Kesimpulan
PT NH merupakan distributor tunggal produk Unilever untuk sejumlah swalayan di wilayah Jambi, Setelah menjual produk-produk pada sejumlah swalayan, perusahaan tidak membayarkan pajak pertambahan nilai.
4.2 Saran
Dalam menjalankan bisnis suatu perusahaan hendaknya tidak melakukan kejahatan korporasi seperti penggelapan pajak. Seharusnya kewajiban membayar pajak harus dilakukan dengan benar. Jangan mementingkan urusan pribadi untuk medapatkan keuntungan yang lebih tanpa memikirkan etika dalam berbisnis. Kemudian bagi perusahaan yang melakukan kejahatan korporasi harus diberi hukuman serta sanksi yang tegas, agar menimbulkan efek jera dan tidak terjadi lagi kesalahan yang sama.
sumber: http://citrarestuanggari.blogspot.com/2013/11/kejahatan-korporasi.html | http://hukumbisnislucky.blogspot.com/2010/06/keterkaitan-antara-kejahatan-bisnis-dan.html | http://regional.kompas.com/read/2013/05/20/14294393/Mahasiswa.Adukan.Penggelapan.Pajak.Rp.45.Miliar. (kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar